Tujuan utama disyariatkannya perkawinan adalah untuk menghasilkan keturunan, sedangkan tujuan-tujuan lainnya adalah untuk mewujudkan kebahagiaan, ketenangan, dan sebagainya. Dengan demikian, setiap terjadi akad pernikahan, maka sudah merupakan suatu kemestian bagi setiap pasangan suami istri mempunyai keinginan mendapatkan keturunan dari pernikahan mereka, di samping keinginan-keinginan lainnya yang membuat pasangan suami istri menjadi senang dan bahagia. Berbeda dengan nikah misyar, walaupun syarat dan rukun nikah sudah dipenuhi, sebagaimana pernikahan pada umumnya, namun dalam pernikahan ini tujuan utama yang hendak dicapai bukan untuk mendapatkan keturunan. Kehalalan berdua-duaan, berhubungan suami istri, mendapatkan kesenangan biologis, sepertinya menjadi tujuan utama pernikahan. Dalam konteks inilah, sebagian ulama membolehkan terjadinya nikah ini, karena menurut mereka tujuan yang hendak dicapai dalam pernikahan bukan hanya untuk mendapatkan keturunan, tetapi juga untuk mendapatkan kesenangan. Tujuan untuk mendapatkan kesenangan itu tidak dapat dikatakan menyimpang dari aturan agama. Sebagian lainnya justru mengharamkannya karena pernikahan ini tidak bertujuan untuk mewujudkan maslahah utama dari pernikahan, yaitu mendapatkan keturunan. Apabila dihubungkan dengan kajian maqasid al-asliyah dan maqasid al-tab'iyah, maka pendapat ulama yang membolehkan terjadinya nikah misyar ini sepertinya tidak sesuai dengan keinginan al-Syari' dalam mensyariatkan menikah. Oleh karena itu selayaknya pernikahan tersebut dilarang.
The main purpose of marriage is having progeny besides for having happy and restful life. It is common saying that every people that get married are having kids besides other purposes in their lives. Unlike the purpose of common marriage, the main purpose of nikah misya>ris not for having kids. Yet, nikah misya>r is the marriage that aims only to have life together legally and to get sexual pleasure. This kind of marriage is done like common marriage in Islamic law that still fulfils the requirements and the principles of marriage. Some of Ulamas see that nikah misya>r is allowed to do. They argue that the purpose of marriage is not only for having descendant, but also for enjoyment and happiness. Ignoring to have kids in marriage aim actually is not a digression of Islamic rules. Otherwise, some of Ulama strongly forbid this kind of marriage because it does not actualize the interest of marriage that is to have posterity. However, in maqa>sid al-asliyyah (primary purpose of syari'ah) and maqa>sid al-tab'iyyah (secondary purpose of syari'ah) view, nikah misya>r should be banned because it clearly infringes the will of The Lawmaker, al-Syari' (Allah).
The differences of laws in marriage registration have generated argumentative conflicts among the ulama. Some of them agree and the others disagree. Ulama who agree say that proscribing secretly marriage (nikah siri) is in accordance to Islamic law. Even though the regulation about marriage registration has been written in The Indonesian Act No. 1 of 1974 on Marriage and in the Compilation of Islamic Law in Indonesian, the practice of secret marriage is still existed among Indonesian Muslim society. They base their practices on what some of local ShafiiyahUlema say all the time that this kind of marriage is in accordance to shari'ah. It is common to say that Shafi'ischool of law is the largest shari'ahschool of law in Indonesia. In the sociology of Islamic law, most of the scholars in Indonesia who adhere to the Shafi'i school and also most of the Indonesian Muslim community adhere to the same school, may have a significant influence on the constraints of reform of Islamic law related to the registration of marriages in particular and other matters about marriage in general contained in the Law No. 1 of 1974 and the Compilation of Islamic Law in Indonesia.