This paper discusses the local chief executive's (LCE) political accountability in the Local Government Acts (LGAs). Using historical and theoretical approaches, this article examines the influence of the political interests of the regimes on the changes of provisions on LCE's political accountability in the LGAs from 1945 to date. The LCE was accountable to the local council (DPRD) from 1945-1958 and 1999-2004; and to the central government from 1959-1998. While since 2004, the LCEs are only had to report -but not be accountable- to the Central Government, local council and the local community. Two important academic questions arise when dealing with this phenomenon. First, to what extent are the political interests of the democratic and authoritarian regimes shaped the changes of provisions on LCE political accountability in the LGAs? Second, how do the provisions conform to the accountability principles? This study's result shows that the rulers' political orientation shaped the LCEs' political accountability system and ignored the principles of accountability, leading to the inconsistent institutional design of LCE accountability. Furthermore, the LGA has yet to regulate the electoral/political accountability of LCEs, which should be a consequenceof adopting the LCE direct election. We recommend precise arrangements on the accountability principle in the Constitution to avoid the politicization of laws by legislators according to their political interests and improve the role of Citizens through a recall petition to strengthen the enforcement mechanisms.
This idea is a reflection of the aspiration of the lndonesian people to build up a democratic and justice society. The problem is where is the position of this institution in our state structure? The author express the alternative outlook that place "Pengadilan Tata Negara" (as the translation of Constitutional Court) under the Supreme Court and paralel with the four courts sub-system; not separate from the Supreme Court which is used the term "Mahkamah Konstitusi" as the other translation of the word Constitutional Court. To make this idea come true, the House of People's Representative (DPR) must use their right to amendment the Law No. 14/1970, especially the article on the structure of Indonesian court.
Sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan, kala "reformasi" tiba-tiba menjadiagenda pembicaraan di mana-mana. "Reformasi ekonomi", "reformasi struktural", "reformasihukum", dan "reformasi politik" menjadi bahan diskursus berbagai kalangan, baik kalanganpemerintah, LSM, kampus, hingga rakyat jelata. Pada intinya, semua pihak ilu mendambakanreformasi yang segera, agar dapat cepat keluar dari himpitan krisis ekonomi pada saat ini.Gelombang reformasi yang terjadi, saat ini telah ikut menyeret bidang hukum, yang selama inihampir tenggelam, karena kurang diperhitungkan dalam pembangunan yang menitikberatkanbidang politik dan ekonomi sebagai panglima.
Semenjak dikeluarkan serangkaian Undang-undang Ketentuan Pokok Pers yakni, Undang-undang Nomor 11 tahun 1966, Undang- undang Nomor 4 tahun 1967, dan Undang-undang Nomor 21 tahun 1982 jo Peraturan Menteri Nomor OliPen/Menpen/1984keberadaan Pers di Indonesia hangat dibicarakan, khususnya konsep kebebasan persyang semakin dibatasi oleh karena masih adanya budaya telepon, pembatalan StuPP,pembredelan pers dan sebagainya. Padahal apabila merujuk pada konstitusi kita adanyakebebasan atau kemerdekaan mengemukakan pendapat itu amat dijunjung tinggi.Oleh sebagian kalangan adanya pembatasan "kebebasan pers" itu dianggap tidak sesuailagi dalam era keterbukaan dewasa ini dan di dalam negara yang menganut demokrasiPancasila. Di dalam tulisan ini, penulis mencoba memaparkan adanya hal-hal yangbersifat das Sein dan das Sollen dalam bidang kebebasan pers pada masa Orde Baru.Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. (Lord Acton)
Usaha pembentukan kebudayaan bangsa atau kebudayaan nasional Indonesia harns mengarahkepada kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak unsur-unsur baru darikebudayaan asing, asalkan ia dapat memperkaya dan mengembangkan serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia harns terlibat di dalamnya. Pembahasan kultur atau budaya demokrasi dalam kepemimpinan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 harus berawal dari pasal 32 UUD 1945 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam GBHN. Karena pokok-pokok pikiran yang mewujudkan cita hukum terdapat di dalam UUD 1945 yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis.
Hak atas pendidikan sebagai HAM dan implementasinya dalam perspektif Provinsi NAD. Berbagaipermasalahan yang mengkristal dalam bagian terakhir uraian di muka secara tegas menyiratkan dominannya faktor manusia sebagai faktor utama yang menentukan berhasil tidaknya tujuan pendidikan, baik pada tingkat lokal, regional, maupun global. Kedudukan bidang pendidikan sebagai salah satu bidang keistimewaan utama Provinsi NAD kiranya perlu ditindaklanjuti denganmemperkuat kembali komitmen seluruh kalangan di Provinsi NAD untuk meningkatkan mutu pendidikan, sebagai salah satu bidang pokok yangbersifat strategis bagi masa depan Provinsi NAD sebagai suatu daerah otonomi khusus.
Suatu arus perubahan besar yang terjadi sejak awal dekade 1990-an telah meninggalkan otokrasi politik dan mengisolasinya bagaikan para pelaut yang berada pada bagian bawah dari gelombang air pasang. Walaupun tidak begitu kencang, angin perubahan itu juga sempat bertiup di Indonesia. Hal ini tercermin dalam isi Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto padatanggal 6 Januari 1990. Diskursus mengenai bertiupnya angin perubahan kemudian mengarahkepada masalah keterbukaan. Adanya keterbukaan ini kemudian memberikan petunjuk, bahwa hak-hak rakyat belum sepenuhnya dilaksanakan pada era Orde Baru ini. Padahal, perlindungan hak-hak rakyat tersebut merupakan salah satu indikator penting bagi suatu negara untuk tetap eksis di era keterbukaan ini.
Tahun 1993 ini, Republik Indonesia akan mendekati usia "setengah abad", tepatnya 48 tahun. Prasyarat bagi suatu negara "modern", secara garis besar, dapat dilihat dari penerapan konsep negara hukum, yang didalamnya tereakup konsep demokrasi. Pemahaman arti demokrasi dan negara hukum itu sendiri tentunya diwarnai berbagai pendapat dan pemikiran, khususnya bila hal itu dihubungkan dengan konstitusi negara kita. Sementara itu, bila kita merujuk pada pendapat A. V. Dicey, paham "Rule of Law* yang dikemukakannya sebenarnya tidak sama dengan yang dianut dalam UUD 1945.
Suatu pengadilan yang bebas adalah merupakan suatu syarat yang indispensable yang tidak dapat dihindari bagi negara hukum. Kebebasan ini mengandung pengertian, tidak ada campurtangan dari kekuasaan lain, baik oleh kekuasaan eksekutif atau legislatif. Namun dalam praktek kekuasaan hakim sebenarnya belum sesuai dengan kehendak tersebut diatas. Hal ini dapatdilihat dengan adanya "dualisme" pertanggungjawaban hakim. Untuk itu dengan dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1986 hakim dituntut untuk dapat memeriksa dan menyelesaikan suatu sengketa meskipun masih ada saja kendala-kendala yang dihadapi.
Pandangan terhadap hak-hak azasi manusia terbagi dua. Pertama, mereka yang menganggapbahwa hak-hak azasi manusia bersifat universal, oleh karena itu harus diterapkan dimana saja dan kapan saja. Pandangan ini dikedepankan oleh negara-negara Barat. Sebaliknya ada yang menganggap bahwa hak-hak azasi manusia itu bersumber pada kebudayaan suatu bangsa. Setiap masyarakat memiliki nilai-nilainya sendiri berbeda dengan masyarakat lain, dan nilai-nilai tersebutlah yang menjadi patokan kehidupan mereka. Penerapan hak-hak azasi manusia menjadi berbeda-beda.